Senin, 05 Januari 2015
Menyelamatkan yang Tersisa dari Perdagangan Ilegal Satwa Liar
Banyaknya perburuan dan perdagangan ilegal satwa liar, kebakaran hutan, serta konversi hutan alam untuk perkebunan, membuat habitat tempat tinggal satwa liar semakin menyusut dan terhimpit. Kondisi tersebut mengancam keberlangsungan hidup berbagai satwa langka, antara lain harimau, gajah, dan orangutan. Demikian cuplikan kata dan kalimat dari permasalahan yang dihadapi oleh satwa liar di Indonesia, yang menggema dalam diskusi Making Everyday Wildlife Conservation Day di @america, Pasific Place Mall, Jakarta (4/12).
Diskusi dibuka oleh sambutan dari Deputy Chief of Mission Kedutaan Besar Amerika, Kristen F. Bauer, dan sambutan dari Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementrian Kehutanan RI, yang dibacakan oleh Bapak Agus Didi, Kasubdit Perlindungan Spesies dan Jenis. Pemerintah Amerika memberi perhatian serius terhadap masalah perdagangan ilegal berbagai satwa langka yang sudah merupakan masalah global dan akan meningkatkan kerja sama dengan berbagai negara, termasuk Indonesia untuk membantu mengatasinya. Hadir dalam kesempatan itu, The Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF), World Wide Fund for Nature (WWF), Jakarta Animal Aid Networks (JANN), serta perwakilan Kedutaan Besar Pemerintah Amerika Serikat. Para pembicara membahas masalah konservasi dan perlindungan satwa langka di Indonesia, baik spesies di darat maupun di laut, serta mendiskusikan cara mengatasi perdagangan ilegal satwa di Indonesia.
Kehidupan satwa liar telah di ambang kepunahan apabila usaha perlindungan dan pelestariannya tidak segera dilakukan secara maksimal dengan dukungan dari seluruh pihak yang berkepentingan. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki daftar terpanjang spesies yang terancam punah, di antaranya 140 jenis burung, 77 jenis mamalia, 21 jenis reptil, 65 jenis ikan tawar, dan 281 jenis tumbuhan. Terlebih, 72% hutan yang menjadi habitat satwa liar di Indonesia telah hilang.
Menurut Jacqueline Sunderland Groves dari BOSF, sejak 1900 habitat orangutan tinggal tersisa 75% dengan jumlah populasi 54.000 individu. Diperlukan langkah nyata dan segera untuk melestarikan orangutan. Dia melanjutkan, jika manusia mengambil anak orangutan maka ia harus membunuh induk orangutan, dan diperlukan waktu yang lama dan biaya yang sangat besar untuk menjaga serta merawat anak orangutan agar bisa bertahan hidup. Oleh karena itu, perburuan dan pembunuhan terhadap orangutan harus dihentikan. “Jika ini tidak dilakukan, maka tahun 2020 diperkirakan kita tidak akan melihat orangutan lagi,” tegasnya.
Harga yang mahal dan keuntungan yang besar, serta belum optimalnya upaya penegakan hukum, membuat banyak masyarakat memburu satwa liar untuk diperdagangkan secara ilegal. Menurut catatan Pemerintah Amerika Serikat, diperkirakan nilai perdagangan ilegal satwa liar secara global mencapai 7-10 miliar dollar AS.
Menurut Chairul Saleh, Conservation Science for Flagship Species Coordinator WWF-Indonesia, perdagangan ilegal satwa liar marak terjadi karena adanya permintaan pasar terhadap bagian-bagian tubuh satwa tertentu yang diyakini bisa memberi manfaat kesehatan, meskipun sulit dibuktikan secara ilimiah. Di samping itu, nilai ekonomi dari kejahatan di bidang kehutanan ini cukup tinggi. Chairul memberi rekomendasi untuk membentuk kerja sama yang baik antara pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan masyarakat, termasuk komunitas yang tinggal di sekitar hutan.
“Diperlukan beberapa langkah agar perdagangan satwa liar tersebut bisa diselesaikan, misalnya melakukan monitoring perburuan dan perdagangan ilegal satwa, melakukan peningkatan kapasitas aparat penegak hukum, khususnya yang terkait dengan peraturan perlidungan spesies dan pemahaman tentang ekologi satwa, peningkatan kerja sama antara Kementrian Kehutanan dengan aparat penegak hukum dan instansi terkait lainnya, peningkatan kerja sama di tingkat regional dan global, serta pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan. Hal-hal tersebut memerlukan komitmen sungguh-sungguh dari semua pihak agar mata rantai perdagangan satwa liar bisa diputus,” ungkap Chairul.
Untuk melakukan pencegahan dan monitoring perburuan dan perdagangan ilegal, diperlukan unit patroli, misalnya “Tiger Patrol Unit”, “Rhino Patrol Unit”, “Orangutan Patrol and Monitoring Unit”, dan lain sebagainya. “Dalam rangka mendukung penegakan hukum di bidang satwa ini, WWF-Indonesia bekerja sama dengan Balai Besar Konservasi Daya Alam (BKSDA) Riau membentuk “Tiger Patrol Unit” (TPU) di Riau. Di samping itu, WWF-Indonesia juga mendukung operasional “Rhino Protection Unit” (RPU) yang melakukan kegiatan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan Taman Nasional Ujung Kulon,” papar Chairul.
Tak hanya itu, diperlukan juga upaya dan dukungan dari pemerintah agar para pelaku kejahatan perdagangan satwa liar menjadi jera. Dalam rangka memberi perlindungan yang lebih terhadap spesies dan habitatnya, saat ini pemerintah Indonesia sedang melakukan pembaharuan undang-undang perlindungan spesies, termasuk mengusulkan pasal sanksi yang lebih berat kepada pelaku kejahatan terhadap satwa.
Sebagai langkah terakhir yang juga sangat penting adalah kesadaran masyarakat tentang bahaya perdagangan ilegal satwa liar. “Jika tidak didukung kesadaran dari masyarakat luas dalam membantu melindungi berbagai satwa liar, termasuk dengan tidak adanya keinginan untuk membeli dan memelihara satwa liar, maka langkah apa pun tak akan berjalan dengan baik. Maraknya perdagangan ilegal satwa liar dipicu oleh adanya permintaan pasar. Maka, jika masyarakat menghentikan permintaan tersebut, perdagangan ilegal satwa liar akan berkurang. “Memelihara satwa liar, terutama yang dilindungi, termasuk menyimpan bagian-bagian tubuhnya, bukanlah sebuah kebanggaan atau prestise. Hal itu sesungguhnya merupakan suatu kejahatan karena melanggar undang-undang,” jelas Chairul.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar